Kisah Ulama Salaf: Imam Ahlussunah wal jama'ah- Al-imam Ahmad bin Muhammad bin hanbal rahimahullahu ta'ala


Nasab dan Kelahirannya

Beliau adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin ‘Auf bin Qasith bin Mazin bin Syaiban bin Dzuhl bin Tsa‘labah adz-Dzuhli asy-Syaibaniy. Nasab beliau bertemu dengan nasab Nabi pada diri Nizar bin Ma‘d bin ‘Adnan. Yang berarti bertemu nasab pula dengan nabi Ibrahim.

Ketika beliau masih dalam kandungan, orang tua beliau pindah dari kota Marwa, tempat tinggal sang ayah, ke kota Baghdad. Di kota itu beliau dilahirkan, tepatnya pada bulan Rabi‘ul Awwal -menurut pendapat yang paling masyhur- tahun 164 H.

Ayah beliau, Muhammad, meninggal dalam usia muda, 30 tahun, ketika beliau baru berumur tiga tahun. Kakek beliau, Hanbal, berpindah ke wilayah Kharasan dan menjadi wali kota Sarkhas pada masa pemeritahan Bani Umawiyyah, kemudian bergabung ke dalam barisan pendukung Bani ‘Abbasiyah dan karenanya ikut merasakan penyiksaan dari Bani Umawiyyah. Disebutkan bahwa dia dahulunya adalah seorang panglima.

Masa Menuntut Ilmu

Imam Ahmad tumbuh dewasa sebagai seorang anak yatim. Ibunya, Shafiyyah binti Maimunah binti ‘Abdul Malik asy-Syaibaniy, berperan penuh dalam mendidik dan membesarkan beliau. Untungnya, sang ayah meninggalkan untuk mereka dua buah rumah di kota Baghdad. Yang sebuah mereka tempati sendiri, sedangkan yang sebuah lagi mereka sewakan dengan harga yang sangat murah. Dalam hal ini, keadaan beliau sama dengan keadaan syaikhnya, Imam Syafi‘i, yang yatim dan miskin, tetapi tetap mempunyai semangat yang tinggi. Keduanya juga memiliki ibu yang mampu mengantar mereka kepada kemajuan dan kemuliaan.

Beliau mendapatkan pendidikannya yang pertama di kota Baghdad. Saat itu, kota Bagdad telah menjadi pusat peradaban dunia Islam, yang penuh dengan manusia yang berbeda asalnya dan beragam kebudayaannya, serta penuh dengan beragam jenis ilmu pengetahuan. Di sana tinggal para qari’, ahli hadits, para sufi, ahli bahasa, filosof, dan sebagainya.

Setamatnya menghafal Alquran dan mempelajari ilmu-ilmu bahasa Arab di al-Kuttab saat berumur 14 tahun, beliau melanjutkan pendidikannya ke ad-Diwan. Beliau terus menuntut ilmu dengan penuh azzam yang tinggi dan tidak mudah goyah. Sang ibu banyak membimbing dan memberi beliau dorongan semangat. Tidak lupa dia mengingatkan beliau agar tetap memperhatikan keadaan diri sendiri, terutama dalam masalah kesehatan. Tentang hal itu beliau pernah bercerita,“Terkadang aku ingin segera pergi pagi-pagi sekali mengambil (periwayatan) hadits, tetapi Ibu segera mengambil pakaianku dan berkata, ‘Bersabarlah dulu. Tunggu sampai adzan berkumandang atau setelah orang-orang selesai shalat subuh.’”

Perhatian beliau saat itu memang tengah tertuju kepada keinginan mengambil hadits dari para perawinya. Beliau mengatakan bahwa orang pertama yang darinya beliau mengambil hadits adalah al-Qadhi Abu Yusuf, murid/rekan Imam Abu Hanifah.

Imam Ahmad tertarik untuk menulis hadits pada tahun 179 saat berumur 16 tahun. Beliau terus berada di kota Baghdad mengambil hadits dari syaikh-syaikh hadits kota itu hingga tahun 186. Beliau melakukan mulazamah kepada syaikhnya, Hasyim bin Basyir bin Abu Hazim al-Wasithiy hingga syaikhnya tersebut wafat tahun 183. Disebutkan oleh putra beliau bahwa beliau mengambil hadits dari Hasyim sekitar tiga ratus ribu hadits lebih.

Pada tahun 186, beliau mulai melakukan perjalanan (mencari hadits) ke Bashrah lalu ke negeri Hijaz, Yaman, dan selainnya. Tokoh yang paling menonjol yang beliau temui dan mengambil ilmu darinya selama perjalanannya ke Hijaz dan selama tinggal di sana adalah Imam Syafi‘i. Beliau banyak mengambil hadits dan faedah ilmu darinya. Imam Syafi‘i sendiri amat memuliakan diri beliau dan terkadang menjadikan beliau rujukan dalam mengenal keshahihan sebuah hadits. Ulama lain yang menjadi sumber beliau mengambil ilmu adalah Sufyan bin ‘Uyainah, Ismail bin ‘Ulayyah, Waki‘ bin al-Jarrah, Yahya al-Qaththan, Yazid bin Harun, dan lain-lain. Beliau berkata,“Saya tidak sempat bertemu dengan Imam Malik, tetapi Allah menggantikannya untukku dengan Sufyan bin ‘Uyainah. Dan saya tidak sempat pula bertemu dengan Hammad bin Zaid, tetapi Allah menggantikannya dengan Ismail bin ‘Ulayyah.”

Demikianlah, beliau amat menekuni pencatatan hadits, dan ketekunannya itu menyibukkannya dari hal-hal lain sampai-sampai dalam hal berumah tangga. Beliau baru menikah setelah berumur 40 tahun. Ada orang yang berkata kepada beliau, “Wahai Abu Abdillah, Anda telah mencapai semua ini. Anda telah menjadi imam kaum muslimin.” Beliau menjawab, “Bersama mahbarah (tempat tinta) hingga ke maqbarah (kubur). Aku akan tetap menuntut ilmu sampai aku masuk liang kubur.” Dan memang senantiasa seperti itulah keadaan beliau: menekuni hadits, memberi fatwa, dan kegiatan-kegiatan lain yang memberi manfaat kepada kaum muslimin. Sementara itu, murid-murid beliau berkumpul di sekitarnya, mengambil darinya (ilmu) hadits, fiqih, dan lainnya. Ada banyak ulama yang pernah mengambil ilmu dari beliau, di antaranya kedua putra beliau, Abdullah dan Shalih, Abu Zur ‘ah, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Atsram, dan lain-lain.

Beliau menyusun kitabnya yang terkenal, al-Musnad, dalam jangka waktu sekitar enam puluh tahun dan itu sudah dimulainya sejak tahun tahun 180 saat pertama kali beliau mencari hadits. Beliau juga menyusun kitab tentang tafsir, tentang an-nasikh dan al-mansukh, tentang tarikh, tentang yang muqaddam dan muakhkhar dalam Alquran, tentang jawaban-jawaban dalam Alquran. Beliau juga menyusun kitab al-Manasik ash-Shagir dan al-Kabir, kitab az-Zuhud, kitabar-Radd ‘ala al-Jahmiyah wa az-Zindiqah (Bantahan kepada Jahmiyah dan Zindiqah), kitab as-Shalah, kitab as-Sunnah, kitab al-Wara‘ wa al-Iman, kitab al-‘Ilal wa ar-Rijal, kitab al-Asyribah, satu juz tentang Ushul as-Sittah, Fadha’il ash-Shahabah.

Pujian dan Penghormatan Ulama Lain Kepadanya

Imam Syafi‘i pernah mengusulkan kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, pada hari-hari akhir hidup khalifah tersebut, agar mengangkat Imam Ahmad menjadi qadhi di Yaman, tetapi Imam Ahmad menolaknya dan berkata kepada Imam Syafi‘i, “Saya datang kepada Anda untuk mengambil ilmu dari Anda, tetapi Anda malah menyuruh saya menjadi qadhi untuk mereka.” Setelah itu pada tahun 195, Imam Syafi‘i mengusulkan hal yang sama kepada Khalifah al-Amin, tetapi lagi-lagi Imam Ahmad menolaknya.

Suatu hari, Imam Syafi‘i masuk menemui Imam Ahmad dan berkata, “Engkau lebih tahu tentang hadits dan perawi-perawinya. Jika ada hadits shahih (yang engkau tahu), maka beri tahulah aku. Insya Allah, jika (perawinya) dari Kufah atau Syam, aku akan pergi mendatanginya jika memang shahih.” Ini menunjukkan kesempurnaan agama dan akal Imam Syafi‘i karena mau mengembalikan ilmu kepada ahlinya.

Imam Syafi‘i juga berkata, “Aku keluar (meninggalkan) Bagdad, sementara itu tidak aku tinggalkan di kota tersebut orang yang lebih wara’, lebih faqih, dan lebih bertakwa daripada Ahmad bin Hanbal.”

Abdul Wahhab al-Warraq berkata, “Aku tidak pernah melihat orang yang seperti Ahmad bin Hanbal.” Orang-orang bertanya kepadanya, “Dalam hal apakah dari ilmu dan keutamaannya yang engkau pandang dia melebihi yang lain?” Al-Warraq menjawab, “Dia seorang yang jika ditanya tentang 60.000 masalah, dia akan menjawabnya dengan berkata, ‘Telah dikabarkan kepada kami,’ atau, ‘Telah disampaikan hadits kepada kami’.” Ahmad bin Syaiban berkata,“Aku tidak pernah melihat Yazid bin Harun memberi penghormatan kepada seseorang yang lebih besar daripada kepada Ahmad bin Hanbal. Dia akan mendudukkan beliau di sisinya jika menyampaikan hadits kepada kami. Dia sangat menghormati beliau, tidak mau berkelakar dengannya.” Demikianlah, padahal seperti diketahui bahwa Harun bin Yazid adalah salah seorang guru beliau dan terkenal sebagai salah seorang imam huffazh.

Keteguhan di Masa Penuh Cobaan

Telah menjadi keniscayaan bahwa kehidupan seorang mukmin tidak akan lepas dari ujian dan cobaan, terlebih lagi seorang alim yang berjalan di atas jejak para nabi dan rasul. Dan Imam Ahmad termasuk di antaranya. Beliau mendapatkan cobaan dari tiga orang khalifah Bani Abbasiyah selama rentang waktu 16 tahun.

Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, dengan jelas tampak kecondongan khalifah yang berkuasa menjadikan unsur-unsur asing (non-Arab) sebagai kekuatan penunjang kekuasaan mereka. Khalifah al-Makmun menjadikan orang-orang Persia sebagai kekuatan pendukungnya, sedangkan al-Mu‘tashim memilih orang-orang Turki. Akibatnya, justru sedikit demi sedikit kelemahan menggerogoti kekuasaan mereka. Pada masa itu dimulai penerjemahan ke dalam bahasa Arab buku-buku falsafah dari Yunani, Rumania, Persia, dan India dengan sokongan dana dari penguasa. Akibatnya, dengan cepat berbagai bentuk bid‘ah merasuk menyebar ke dalam akidah dan ibadah kaum muslimin. Berbagai macam kelompok yang sesat menyebar di tengah-tengah mereka, seperti Qadhariyah, Jahmyah, Asy‘ariyah, Rafidhah, Mu‘tazilah, dan lain-lain.

Kelompok Mu‘tazilah, secara khusus, mendapat sokongan dari penguasa, terutama dari Khalifah al-Makmun. Mereka, di bawah pimpinan Ibnu Abi Duad, mampu mempengaruhi al-Makmun untuk membenarkan dan menyebarkan pendapat-pendapat mereka, di antaranya pendapat yang mengingkari sifat-sifat Allah, termasuk sifat kalam (berbicara). Berangkat dari pengingkaran itulah, pada tahun 212, Khalifah al-Makmun kemudian memaksa kaum muslimin, khususnya ulama mereka, untuk meyakini kemakhlukan Alquran.

Sebenarnya Harun ar-Rasyid, khalifah sebelum al-Makmun, telah menindak tegas pendapat tentang kemakhlukan Alquran. Selama hidupnya, tidak ada seorang pun yang berani menyatakan pendapat itu sebagaimana dikisahkan oleh Muhammad bin Nuh, “Aku pernah mendengar Harun ar-Rasyid berkata, ‘Telah sampai berita kepadaku bahwa Bisyr al-Muraisiy mengatakan bahwa Alquran itu makhluk. Merupakan kewajibanku, jika Allah menguasakan orang itu kepadaku, niscaya akan aku hukum bunuh dia dengan cara yang tidak pernah dilakukan oleh seorang pun.’” Tatkala Khalifah ar-Rasyid wafat dan kekuasaan beralih ke tangan al-Amin, kelompok Mu‘tazilah berusaha menggiring al-Amin ke dalam kelompok mereka, tetapi al-Amin menolaknya. Baru kemudian ketika kekhalifahan berpindah ke tangan al-Makmun, mereka mampu melakukannya.

Untuk memaksa kaum muslimin menerima pendapat kemakhlukan Alquran, al-Makmun sampai mengadakan ujian kepada mereka. Selama masa pengujian tersebut, tidak terhitung orang yang telah dipenjara, disiksa, dan bahkan dibunuhnya. Ujian itu sendiri telah menyibukkan pemerintah dan warganya baik yang umum maupun yang khusus. Ia telah menjadi bahan pembicaraan mereka, baik di kota-kota maupun di desa-desa di negeri Irak dan selainnya. Telah terjadi perdebatan yang sengit di kalangan ulama tentang hal itu. Tidak terhitung dari mereka yang menolak pendapat kemakhlukan Alquran, termasuk di antaranya Imam Ahmad. Beliau tetap konsisten memegang pendapat yang hak, bahwa Alquran itu kalamullah, bukan makhluk.

Al-Makmun bahkan sempat memerintahkan bawahannya agar membawa Imam Ahmad dan Muhammad bin Nuh ke hadapannya di kota Thursus. Kedua ulama itu pun akhirnya digiring ke Thursus dalam keadaan terbelenggu. Muhammad bin Nuh meninggal dalam perjalanan sebelum sampai ke Thursus, sedangkan Imam Ahmad dibawa kembali ke Bagdad dan dipenjara di sana karena telah sampai kabar tentang kematian al-Makmun (tahun 218). Disebutkan bahwa Imam Ahmad tetap mendoakan al-Makmun.

Sepeninggal al-Makmun, kekhalifahan berpindah ke tangan putranya, al-Mu‘tashim. Dia telah mendapat wasiat dari al-Makmun agar meneruskan pendapat kemakhlukan Alquran dan menguji orang-orang dalam hal tersebut; dan dia pun melaksanakannya. Imam Ahmad dikeluarkannya dari penjara lalu dipertemukan dengan Ibnu Abi Duad dan konco-konconya. Mereka mendebat beliau tentang kemakhlukan Alquran, tetapi beliau mampu membantahnya dengan bantahan yang tidak dapat mereka bantah. Akhirnya beliau dicambuk sampai tidak sadarkan diri lalu dimasukkan kembali ke dalam penjara dan mendekam di sana selama sekitar 28 bulan –atau 30-an bulan menurut yang lain-. Selama itu beliau shalat dan tidur dalam keadaan kaki terbelenggu.

Selama itu pula, setiap harinya al-Mu‘tashim mengutus orang untuk mendebat beliau, tetapi jawaban beliau tetap sama, tidak berubah. Akibatnya, bertambah kemarahan al-Mu‘tashim kepada beliau. Dia mengancam dan memaki-maki beliau, dan menyuruh bawahannya mencambuk lebih keras dan menambah belenggu di kaki beliau. Semua itu, diterima Imam Ahmad dengan penuh kesabaran dan keteguhan bak gunung yang menjulang dengan kokohnya.

Sakit dan Wafatnya

Pada akhirnya, beliau dibebaskan dari penjara. Beliau dikembalikan ke rumah dalam keadaan tidak mampu berjalan. Setelah luka-lukanya sembuh dan badannya telah kuat, beliau kembali menyampaikan pelajaran-pelajarannya di masjid sampai al-Mu‘tashim wafat.

Selanjutnya, al-Watsiq diangkat menjadi khalifah. Tidak berbeda dengan ayahnya, al-Mu‘tashim, al-Watsiq pun melanjutkan ujian yang dilakukan ayah dan kakeknya. Dia pun masih menjalin kedekatan dengan Ibnu Abi Duad dan konco-konconya. Akibatnya, penduduk Bagdad merasakan cobaan yang kian keras. Al-Watsiq melarang Imam Ahmad keluar berkumpul bersama orang-orang. Akhirnya, Imam Ahmad bersembunyi di rumahnya, tidak keluar darinya bahkan untuk keluar mengajar atau menghadiri shalat jamaah. Dan itu dijalaninya selama kurang lebih lima tahun, yaitu sampai al-Watsiq meninggal tahun 232.

Sesudah al-Watsiq wafat, al-Mutawakkil naik menggantikannya. Selama dua tahun masa pemerintahannya, ujian tentang kemakhlukan Alquran masih dilangsungkan. Kemudian pada tahun 234, dia menghentikan ujian tersebut. Dia mengumumkan ke seluruh wilayah kerajaannya larangan atas pendapat tentang kemakhlukan Alquran dan ancaman hukuman mati bagi yang melibatkan diri dalam hal itu. Dia juga memerintahkan kepada para ahli hadits untuk menyampaikan hadits-hadits tentang sifat-sifat Allah. Maka demikianlah, orang-orang pun bergembira pun dengan adanya pengumuman itu. Mereka memuji-muji khalifah atas keputusannya itu dan melupakan kejelekan-kejelekannya. Di mana-mana terdengar doa untuknya dan namanya disebut-sebut bersama nama Abu Bakar, Umar bin al-Khaththab, dan Umar bin Abdul Aziz.

Menjelang wafatnya, beliau jatuh sakit selama sembilan hari. Mendengar sakitnya, orang-orang pun berdatangan ingin menjenguknya. Mereka berdesak-desakan di depan pintu rumahnya, sampai-sampai sultan menempatkan orang untuk berjaga di depan pintu. Akhirnya, pada permulaan hari Jumat tanggal 12 Rabi‘ul Awwal tahun 241, beliau menghadap kepada rabbnya menjemput ajal yang telah dientukan kepadanya. Kaum muslimin bersedih dengan kepergian beliau. Tak sedikit mereka yang turut mengantar jenazah beliau sampai beratusan ribu orang. Ada yang mengatakan 700 ribu orang, ada pula yang mengatakan 800 ribu orang, bahkan ada yang mengatakan sampai satu juta lebih orang yang menghadirinya. Semuanya menunjukkan bahwa sangat banyaknya mereka yang hadir pada saat itu demi menunjukkan penghormatan dan kecintaan mereka kepada beliau. Beliau pernah berkata ketika masih sehat, “Katakan kepada ahlu bid‘ah bahwa perbedaan antara kami dan kalian adalah (tampak pada) hari kematian kami.”

Demikianlah gambaran ringkas ujian yang dilalui oleh Imam Ahmad. Terlihat bagaimana sikap agung beliau yang tidak akan diambil kecuali oleh orang-orang yang penuh keteguhan lagi ikhlas. Beliau bersikap seperti itu justru ketika sebagian ulama lain berpaling dari kebenaran. Dan dengan keteguhan di atas kebenaran yang Allah berikan kepadanya itu, maka madzhab Ahlussunnah pun dinisbatkan kepada dirinya karena beliau sabar dan teguh dalam membelanya. Ali bin al-Madiniy berkata menggambarkan keteguhan Imam Ahmad, “Allah telah mengokohkan agama ini lewat dua orang laki-laki, tidak ada yang ketiganya. Yaitu, Abu Bakar as-Shiddiq pada Yaumur Riddah (saat orang-orang banyak yang murtad pada awal-awal pemerintahannya), dan Ahmad bin Hanbal pada Yaumul Mihnah.”

Selengkapnya...

Kisah ulama Salaf: Imam Syafi'i rahimahullahu ta'ala

Musnad al-Imam asy-Syafi'i
Imam Ahmad bin Hambal berkata, "Sesunguhnya Allah telah mentakdirkan pada setiap seratus tahun ada seseorang yang akan mengajarkan Sunnah dan akan menyingkirkan para pendusta terhadap Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam. Kami berpendapat pada seratus tahun yang pertama Allah mentakdirkan Umar bin Abdul Aziz dan pada seratus tahun berikutnya Allah menakdirkan Imam Syafi`i."

Nasab beliau رحمه الله
Kunyah beliau Abu Abdillah, namanya Muhamad bin Idris bin Al Abbas bin Ustman bin Syaafi’ bin As-Saai’b bin ‘Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Al Muththalib bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ai. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam pada Abdu Manaf, sedangkan Al Muththalib adalah saudaranya Hasyim (bapaknya Abdul Muththalib).

Tahun dan Tempat Kelahiran
Beliau dilahirkan di desa Gaza, masuk kota ‘Asqolan pada tahun 150 H. Saat beliau dilahirkan ke dunia oleh ibunya yang tercinta, bapaknya tidak sempat membuainya, karena ajal Allah telah mendahuluinya dalam usia yang masih muda. Lalu setelah berumur dua tahun, paman dan ibunya membawa pindah ke kota kelahiran nabi Muhammad Sholallahu ‘Alaihi Wasallam, Makkah Al Mukaramah.

Pertumbuhannya
Beliau tumbuh dan berkembang di kota Makkah, di kota tersebut beliau ikut bergabung bersama teman-teman sebaya belajar memanah dengan tekun dan penuh semangat, sehingga kemampuannya mengungguli teman-teman lainnya. Beliau mempunyai kemampuan yang luar biasa dalam bidang ini, hingga sepuluh anak panah yang dilemparkan, sembilan diantaranya tepat mengenai sasaran dan hanya satu yang meleset. Setelah itu beliau mempelajari tata bahasa arab dan sya’ir sampai beliau memiliki kemampuan yang sangat menakjubkan dan menjadi orang yang terdepan dalam cabang ilmu tersebut. Kemudian tumbuhlah di dalam hatinya rasa cinta terhadap ilmu agama, maka beliaupun mempelajari dan menekuni serta mendalami ilmu yang agung tersebut, sehingga beliau menjadi pemimpin dan imam atas orang-orang sezaman رحمه الله

Kecerdasannya
Kecerdasan adalah anugerah dan karunia Allah yang diberikan kepada hambanya sebagai nikmat yang sangat besar. Diantara hal-hal yang menunjukkan kecerdasannya :

1. Kemampuannya menghafal Al Qur’an di luar kepala pada usianya yang masih belia, tujuh tahun.
2. Cepatnya menghafal kitab Hadits Al Muwathta’ karya Imam Darul Hijrah, Imam Malik bin Anas pada usia sepuluh tahun.
3. Rekomendasi para ulama sezamannya atas kecerdasannya, hingga ada yang mengatakan bahwa ia belum pernah melihat manusia yang lebih cerdas dari imam Syafi’i..
4. Beliau diberi wewenang berfatawa pada umur 15 tahun. Muslim bin Khalid Az-Zanji berkata kepada Imam Syafi’i : "Berfatwalah wahai Abu Abdillah, sungguh demi Allah sekarang engkau telah berhak untuk berfatwa".


Menuntut Ilmu
Beliau mengatakan tentang menuntut ilmu, "Menuntut ilmu lebih afdhal dari shalat sunnah". Dan yang beliau dahulukan dalam belajar setelah hafal Al Qur’an adalah membaca Hadits, beliau mengatakan, "Membaca hadits lebih baik dari pada shalat sunnah".
Karena itu, setelah hafal Al Qur’an beliau belajar kitab hadits karya imam Malik bin Anas kepada pengarangnya langsung pada usia yang masih belia.

Guru-guru Beliau رحمه الله
Beliau mengawali mengambil ilmu dari ulama-ulama yang berada di negerinya, diantara mereka adalah:

1. Muslim bin Khalid Az-Zanji mufti Makkah,
2. Muhammad bin Syafi’ paman beliau sendiri.
3. Abbas kakeknya Imam Asy-Syafi’i,
4. Sufyan bin Uyainah,
5. Fudhail bin Iyadl, serta beberapa ulama yang lain.

Demikian juga beliau mengambil ilmu dari ulama-ulama Madinah diantara mereka adalah;

1. Malik bin Anas,
2. Ibrahim bin Abu Yahya Al Aslamy Al Madany,
3. Abdul Aziz Ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Ismail bin Ja’far dan Ibrahim bin Sa’ad serta para ulama yang berada pada tingkatannya.

Beliau juga mengambil ilmu dari ulama-ulama negeri Yaman diantaranya:

1. Mutharrif bin Mazin
2. Hisyam bin Yusuf Al Qadhi, dan sejumlah ulama lainnya.

Dan di Baghdad beliau mengambil ilmu dari:

1. Muhammad bin Al Hasan, ulamanya bangsa Irak, beliau bermulazamah bersama ulama tersebut, dan mengambil darinya ilmu yang banyak.
2. Ismail bin Ulayah.
3. Abdulwahab Ats-Tsaqafy, serta yang lainnya.


Murid-murid Beliau رحمه الله
Beliau mempunyai banyak murid, yang umumnya menjadi tokoh dan pembesar ulama dan imam umat islam, yang paling menonjol adalah :

1. Ahmad bin Hanbal, Ahli Hadits dan sekaligus juga Ahli Fiqih dan imam Ahlus Sunnah dengan kesepakatan kaum muslimin.
2. Al Hasan bin Muhammad Az-Za’farani
3. Ishaq bin Rahawaih,
4. Harmalah bin Yahya
5. Sulaiman bin Dawud Al Hasyimi
6. Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid Al Kalbi dan lain-lainnya banyak sekali.


Karya beliau :
Beliau mewariskan kepada generasi berikutnya sebagaimana yang diwariskan oleh para nabi, yakni ilmu yang bermanfaat. Ilmu beliau banyak diriwayatkan oleh para murid-muridnya dan tersimpan rapi dalam berbagai disiplin ilmu. Bahkan beliau pelopor dalam menulis di bidang ilmu Ushul Fiqih, dengan karyanya yang monumental Risalah. Dan dalam bidang fiqih, beliau menulis kitab Al Umm yang dikenal oleh semua orang, awamnya dan alimnya. Juga beliau menulis kitab Jima’ul Ilmi.

Pujian Para Ulama Kepada Beliau رحمه الله
Benarlah sabda Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam (yang artinya), "Barangsiapa yang mencari ridha Allah meski dengan dibenci manusia, maka Allah akan ridha dan akhirnya manusia juga akan ridha kepadanya". HR Tirmidzi 2419 dan dishashihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ 6097.

Begitulah keadaan para imam Ahlus Sunnah, mereka menapaki kehidupan ini dengan menempatkan ridha Allah di hadapan mata mereka, meski harus dibenci oleh manusia. Namun keridhaan Allah akan mendatangkan berkah dan manfaat yang banyak. Imam Syafi’i yang berjalan dengan lurus di jalan-Nya, menuai pujian dan sanjungan dari orang-orang yang utama. Karena keutamaan hanyalah diketahui oleh orang-orang yang punya keutamaan pula.

Qutaibah bin Sa`id berkata: "Asy-Syafi`i adalah seorang Imam".

Beliau juga berkata, "Imam Ats-Tsauri wafat maka hilanglah wara, imam Syafi`i wafat maka matilah Sunnah dan apa bila imam Ahmad bin Hambal wafat maka nampaklah kebid`ahan"

Imam Syafi`i berkata, "Aku di Baghdad dijuluki sebagai Nashirus Sunnah (pembela Sunnah Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam)

Imam Ahmad bin Hambal berkata, "Syafi`i adalah manusia yang paling fasih di zamanya.
Ishaq bin Rahawaih berkata, "Tidak ada seorangpun yang berbicara dengan pendapatnya -kemudian beliau menyebutkan Ats-Tsauri, Al-Auzai, Malik, dan Abu Hanifah,- melainkan Imam Syafi`i adalah yang paling besar ittiba`nya kepada Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam, dan paling sedikit kesalahanya.".

Abu Daud As-Sijistani berkata, "Aku tidak mengetahui pada syafi`i satu ucapanpun yang salah"
Ibrahim bin Abdul Thalib Al-Hafidz berkata, "Aku bertanya kepada Abu Qudamah As-Sarkhasi tentang Syafi`i, Ahmad, Abu Ubaid, dan Ibnu Ruhawaih. Maka ia berkata, "Syafi`i adalah yang paling faqih diantara mereka".

PRINPIP AQIDAH BELIAU
Imam Syafi’i termasuk imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah, beliau jauh dari pemahaman Asy’ariyyah dan Maturidiyyah yang menyimpang dalam aqidah, khususnya dalam masalah aqidah yang berkaitan dengan Asma dan Shifat Allah SWT. Beliau tidak meyerupakan nama dan sifat Allah dengan nama dan sifat makhluk, juga tidak menyepadankan, tidak menghilangkannya dan juga tidak mentakwilnya. Tapi beliau mengatakan dalam masalah ini, bahwa Allah memiliki nama dan sifat sebagaimana yang tercantum dalam Al Qur’an dan sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam kepada umatnya. Tidak boleh bagi seorang pun untuk menolaknya, karena Al Qur’an telah turun dengannya (nama dan sifat Allah) dan juga telah ada riwayat yang shahih tentang hal itu.

Jika ada yang menyelisihi demikian setelah tegaknya hujjah padanya maka dia kafir. Adapun jika belum tegak hujjah, maka dia dimaafkan dengan bodohnya. Karena ilmu tentang Asma dan Sifat Allah tidak dapat digapai dengan akal, teori dan pikiran. Kami menetapkan sifat-sifat Allah dan kami meniadakan penyerupaan darinya sebagaimana Allah meniadakan dari diri-Nya. Allah berfirman, artinya : "Tidak ada yang menyerupainya sesuatu pun, dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat". (Asy Syura:11)

Dalam masalah Al Qur’an, beliau Imam Syafi’i mengatakan, "Al Qur’an adalah kalamulah, barangsiapa mengatakan bahwa Al Qur’an adalah makhluk maka dia telah kafir".

PRINSIP DALAM FIQIH :
Beliau berkata, "Semua perkataanku yang menyelisihi hadits yang shahih maka ambillah hadits yang shahih dan janganlah taqlid kepadaku".

Beliau berkata, "Semua hadits yang shahih dari nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam maka itu adalah pendapatku meski kalian tidak mendengarnya dariku".

Beliau mengatakan, "Jika kalian dapati dalam kitabku sesuatu yang menyelisihi Sunnah Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam maka ucapkanlah sunnah Rasulullah dan tinggalkan ucapanku".

SIKAP IMAM SYAFI’I TERHADAP AHLIL BID’AH
Muhammad bin Daud berkata, "Pada masa Imam Syafi’i, tidak pernah terdengar sedikitpun beliau bicara tentang hawa, tidak juga dinisbatkan kepadanya dan tidak dikenal darinya, bahkan beliau benci kepada Ahlil Kalam dan Ahlil Bid’ah".

Beliau bicara tentang Ahlil Bid’ah, seorang tokoh Jahmiyah, Ibrahim bin ‘Ulayyah, "Sesungguhnya Ibrahim bin ‘Ulayyah sesat".

Imam Syafi’i juga mengatakan, "Menurutku, hukuman ahlil Kalam dipukul dengan pelepah pohon kurma dan ditarik dengan unta lalu diarak keliling kampung seraya diteriaki: Ini balasan orang yang meninggalkan kitab dan sunnah, dan beralih kepada ilmu kalam".

PESAN IMAM SYAFI’I :
"Ikutilah Ahli Hadits oleh kalian, karena mereka orang yang paling banyak benarnya".

WAFAT BELIAU :
Beliau wafat pada hari kamis di awal bulan Sya’ban tahun 204 H dan Umur beliau sekita 54 tahun. Siyar 10/ 76. Meski Allah memberi masa hidup beliau di dunia 54 tahun, menurut anggapan manusia, umur yang demikian termasuk masih muda. Walau demikian, keberkahan dan manfaatnya dirasakan kaum muslimin di seantero belahan dunia, hingga para ulama mengatakan, "Imam Syafi’i diberi umur pendek, namun Allah menggabungkan kecerdasannya dengan umurnya yang pendek".

KATA-KATA HIKMAH IMAM SYAFI’I :
Kebaikan ada pada lima hal : kekayaan jiwa, menahan dari menyakiti orang lain, mencari rizki halal, taqwa dan tsiqqah kepada Allah.

Ridha manusia adalah tujuan yang tidak mungkin dicapai, tidak ada jalan untuk selamat dari (omongan) manusia, wajib bagimu untuk konsisten dengan hal-hal yang bermanfaat bagimu.


Sumber:
Majalah As-Salam Selengkapnya...

KIsah Ulama Salaf: Imam Bukhari Rahimahullahu ta'ala


Shahih Bukhari
Nasab dan Kelahiran Beliau
Beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Ja'fi Al Bukhari -rahimahullah- . Lahir pada bulan Syawwal tahun 194 H.

Guru-guru Beliau
Beliau banyak melakukan perjalanan dalam mencari hadits (ilmu) ke seluruh penjuru dunia. Beliau belajar hadits di Khurasan, Al Jibal, Iraq, Hijaz, Syam, Mesir dan lainnya. Diantara guru-gurunya adalah : Makki bin Ibrahim, Abdan bin Utsaman Al Muruzi, Abu 'Ashim Asy Syaibani, Muhammad bin Abdulloh Al Anshori, Muhammad bin Yusuf, Abu Walid Ath Thayalisi, ABdulloh bin Maslamah Al Qa'nabi, Abu Bakar Al Humaidi, Abdullah bin Yusuf, Abul Yaman,Ismail bin abu uwais, Muhammad bin Katsir, Khalid Al Mukhalid, Ali Ibnu Al Madini, Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma'in dan masih banyak lagi -rahimakumullah-
Beliau sering pergi ke baghdad dan mengajarkan hadits disana.

Ibadah dan Muamalah Beliau
Bakar Abu Said berkata," Ada seseorang yang membawakan barang dagangan kepada Muhammad bin Ismail (Al Bukhori), dan setelah Isya' berkumpullah beberapa pedagang untuk mengambil dagangan tersebut dengan memberi untuk 5000 dirham. Beliau menyetujui dan berkata kepada merka," Pulanglah kalian malam ini," Pagi harinya datang para pedagang lain yang ingin mengambil dagangan tersbut dengan memberikan keuntungan 10000 dirham, namun beliau menolaknya dan berkata,"Saya sudah meniatkan untuk memberikan barang dagangan ini kepada para pedagang yang telah datang tadi malam, dan saya tidak senang membatalkan niat saya."

Bakar Abu Said juga berkata," Pada suatu hari Muhammad bin Ismail merasa terganggu ketika sedang sholat. Selesai sholat dia berkata kepada para sahabatnya," Lihatlah ini ! apa yang menggangguku di waktu sedang sholat.!",Maka mereka melihatnya, ternyata lalat penyengat telah menyengat sebanyak 17 tempat, akan tetapi dia tidak memutuskan sholatnya. Tatkala para sahabatnya menanyakan mengapa tidak memutuskan sholat sejak awal, dia menjawab," Karena saya sedang sholat, saya lebih suka untuk menyempurnakannya." Nasj bin Said berkata," Ketika awal malam bulan ramadhan, para sahabat Al Bukhori berkumpul bersamanya. Beliau sholat bersama mereka dengan membaca 20 ayat setiap rakaat. Setiap waktu sahur beliau membaca Al Qur'an lebih dari sepertiganya, dan menghatamkannya selama 3 hari juga pada waktu sahur. Jika pda waktu tersebut beliau tidak menghatamkan, maka beliau sempurnakan/selesaikan pada waktu iftar (bebuka puasa) sambil berdoa."
Muhammad bin Yusuf berkata," Pada suatu malam saya bersama Muhammad bin Ismail Al Bukhori di rumahnya. Saya menghitung dia bangun untuk menyalakan lampu lalu mudzakarah (menelaah) sesuatu ampai 18 kali, dan pada waktu sahur beliau melakukan sholat lain 13 rakaat dengan witir 1 rakaat."

Pujian Ulama kepadanya
Muhammad bin Abu Hatim mendengar Imam Al Bukhori berkata," Tatkala masuk ke kota Bashrah, saya bermajelis dengan Muhammad bin Basyar, ketika keluar majelis, dia melihatku. Dia bertanya kepadaku,"Darimana kamu wahai pemuda?", Maka akupun menjawab," dari penduduk Bukhara.". Bagaimana kamu justru meninggalkan Abu Abdillah Al Bukhori dan tidak belajar kepadanya?," keluhnya. Maka para Sahabat Muhammad bin Basyar berkata kepadanya,"Semoga engkau merahmati engkau. Dialah Abu Abdillah (Al Bukhori ) itu." lantas Muhammad bin Basyar memegang tanganku dan memelukku. Kemudian beliau berkata," Selamat atas kedatangan orang yang besar lagi mulai yang telah kami tunggu sejak dua tahun lalu."

Muhammad bin Ishaq berkata," Saya tidak melihat dibawah kolong langit ini yang lebih alim tentang hadits daripada Muhammad bin Ismail Abu Abdillah."
Abu Ja'far Abdullah bin Muhammad Al Ja'fi berkata," Muhammad bin Ismail dalah seorang imam. maka barangsiapa yang tidak menjadikannya sebagai imam, maka ia pantas untuk dicurigai."

Kedalaman Ilmu Haditsnya
Para ulama dari berbagai negeri seperti Bashrah, Syam, Hjaz, dan Kufah menaruh hormat kepada Al bukhori.

Pernah Imam Al Bukhori datang ke baghdad, dan kedatangannya didengar oleh para Ulama Ahlul Hadits, mereka berkumpul dan bersepakat untuk menguji Imam Bukhori dengan 100 hadits. Mereka membolak-balik matan (isi hadits) dan sanad (para periwayat hadits)nya. dan menyerahkan hadits yang sudah dibolak bailk tersebut kepada 10 orang, sehingga setiap orang mendapat jatah 10 hadits. Ketika hari yang sudah ditentukan untuk bermajelis telah tiba, datanglah para Ahli hadits baik dari Maghrib, Khurasan, Baghdad dan tempat lainnya. tatkala suasana majelis sudah nampak tenang, mulailah salah seorang dari 10 orang tadi menyampaikan hadits yang telah dibolak balikkan itu, dan setiap selesai membacakan satu hadits dia bertanya kepada Imam Al Bukhori tentag hadits tersebut, maka Imam Al Bukhori menjawab," Aku tidak tahu tentang hadits tersebut." lalu dibacakanlah lagi hadits berikutnya dan ditanyakan lagi kepadanya. Dia menjawab lagi "Tidak tahu." demikian sampai 10 hadits. para Ahli hadits yang hadir di majelis saling berpandangan satu sama lain dan berkata," Jawaban al Bukhori itu menunjukkan dia orang yang lemah dan sedikit hafalan serta pemahamannya." lalu mulailah orang kedua, ketiga, kempat sampai selesai 10 orang yang membacakan semua hadits yang dibolak balik tadi sehingga mencapai 100 hadits. dan setiap ditanya tentang hadits yang dibacakan kepadanya, Imam bukhori tetap menjawab," Saya tidak tahu hadits tersebut." Tidak lebih dari itu. Ketika Imam Bukhori mengetahui pembacaan hadits-hadits tersebut telah selesai, maka beliau menghadap kepada orang orang pertama yang membacakan hadits tadi dan berkata,"Adapun haditsmu yang pertama seperti itu maka yang benar begini, haditsmu yang kedua begitu, maka yang benar begini dan seterusnya sampai 10 hadits. Beliau mengembalikan matan dan sanad hadits yang telah dibolak balik sebagaimana semula. demikianlah yang diperbuat Imam Al Bukhori kepada 10 orang tersebut. Hingga manusia menetapkan kuatnya hafalan Imam Al Bukhori dan keutamaannya.

Majelis Imam Al Bukhori
Abu Ali Shalih bin Muhammad Al Bagdadi berkata bahwa ketika Muhammad bin Ismail menyampaikan hadits-haditsnya beberapa kali di baghdad, yang hadir pada setiap majelisnya lebih dari 20.000 orang. Perkataan serupa juga disampaikan Muhammad bin Yusuf.
Al Bukhori berkunjung ke Bashrah, dan berada di dalam Masjid jami', tatkala ada orang yang mengetahuinya, maka dia umumkan kedatangannya kepada penduduk Bashrah, mereka meminta kepadanya untuk membuah sebuah majelis ilmu. maka berkumpullah para penuntut ilmu termasuk orang-orang tua, para ahli fiqih, ahli hadits para huffazh hingga berjumlah ribuan orang, sehingga keluar ungkapan," Telah hadir pada hari ini Sayyidul fuqoha' (penghulu para ahli fiqih).

Hikmah
Abu Sa'id Bakar bin Munir berkata bahwa Al Amir (penguasa) Khalid bin AHmad Adz Dzuhli mengirim utusan ke Bukhara kepada Muhammad bin Ismail agar mengajarkan kitab jami', At tarikh dan seterusnya (secara privat), Maka Muhammad bin Ismail berkata kepada utusan tersebut,"Sesungguhnya kami tidak merendahkan ilmu, dan tidak mengajarkan kerumah-rumah. Jika engkau membutuhkan ilmu tersebut maka datanglah ke masjid saya atau rumah saya, jika tidak, engkau dalah penguasa, mampu melarang saya untuk bermajelis, sehingga saya memiliki udzur di hadapan Alloh Azza wa Jalla pada hari kiamat. Karena saya tidak akan menyembunyikan ilmu, sebab Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam bersabda," barangsiapa ditanya tentang suatu ilmu lantas dia menyembunyikannya maka dia akan dikekang dengan tali kekang dari neraka."

Imam Bukhori berkata,"Gerakan, suuara dan tulisan mereka adalah makhluq, adapaun Al Qur'an yang dibaca, yang tetap dalam mushaf yang tertulis dan yang terjaga (dihafal) dalam hati, maka itu adalah kalam Allah dan bukan makhluq, Alloh Azza wa Jalla berfirman," Sebenarnya, Al Qur'an adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang berilmu," [QS Al Ankabut 49]
Ibrahim bin Muhammad setelah penyelenggaraan jenazah Muhammad bin ismail berkata bahwa Shahibul Qishar kemarin bertanya kepada Muhammad bin Ismail," Wahai Abu Abdillah, apa yang engkau katakan tentang Al Qur'an?' Beliau menjawab," Al Quran adalah kalamulloh bukan makhluq" Kemudian aku (Ibrahim bin Muhammad ) berkata," Manusia menyangka engkau mengatakan apa-apa yang terdapat dalam mushaf itu bukan Al Qur'an ! dan ayat-ayat yang berada di dalam dada-dada manusia juga bukan Al Qur'an." Maka beliau menjawab," Astaghfirrullah, engkau bersaksi terhadap sesuatu yang tidak kau dengar dariku. Maka aku katakan sebagaiman firman Alloh Azza wa Jalla ," Demi Thur dan demi kitab yang tertulis." [QS Ath Thur 1-2]

Wafat beliau
Abdul Wahin bin Adam berkata," Saya melihat Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam didalam mimpi bersama para sahabatnya. beliau berhenti/berdiri pada suatu tempat. Aku mengucapkan salam kepada beliau dan beliaupun menjawab salamnya. Aku bertanya," Mengapa berhenti disini wahai Rosululloh?." Beliau menjawab," Aku menunggu Muhammad bin Ismail Al Bukhori." , Setelah beberapa hari maka datanglah kabar tentang kematian Imam Al Bukhari, dan tatkala saya perhatikan waktu kematian beliau, ternyata tepat saat aku bermimpi bertemu dengan Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam .
Abul Hasan bin Salim berkata,"Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al Bukhari meninggal pada malam sabtu malam idul fitri tahun 256 H."
Yahya bin Ja'far berkata," Seandainya saya mampu untuk menambah usia Muhammad bin Ismail Al Bukhori, maka akan saya lakukan. Karena kematianku adalah kematian seorang biasa, namun kematian Al Bukhori adalah hilangnya ilmu."

Maraji:
- Tarikh Al Baghdad, karya Al Khatib Al baghdadi
- Siyar A'lam An Nubala kaya Imam Adz Dzahabi
Selengkapnya...

kisah sahabat: Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhu

Periwayatan paling banyak berikutnya sesudah Abu Hurairah adalah Abdullah bin Umar. Ia meriwayatkan 2.630 hadits.

Abdullah adalah putra khalifah ke dua Umar bin al-Khaththab saudarah kandung Sayiyidah Hafshah Ummul Mukminin. Ia salahseorang diantara orang-orang yang bernama Abdullah (Al-Abadillah al-Arba’ah) yang terkenal sebagai pemberi fatwa. Tiga orang lain ialah Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Amr bin al-Ash dan Abdullah bin az-Zubair.

Ibnu Umar dilahirkan tidak lama setelah Nabi diutus Umurnya 10 tahun ketika ikut masuk bersama ayahnya. Kemudian mendahului ayahnya ia hijrah ke Madinah. Pada saat perang Uhud ia masih terlalu kecil untuk ikut perang. Dan tidak mengizinkannya. Tetapi setelah selesai perang Uhud ia banyak mengikuti peperangan, seperti perang Qadisiyah, Yarmuk, Penaklukan Afrika, Mesir dan Persia, serta penyerbuan basrah dan Madain.

Az-Zuhri tidak pernah meninggalkan pendapat Ibnu Umar untuk beralih kepada pendapat orang lain. Imam Malik

dan az-Zuhri berkata:” Sungguh, tak ada satupun dari urusan Rasulullah dan para sahabatnya yang tersembunyi bagi Ibnu Umar”. Ia meriwayatkan hadits dari Abu Bakar, Umar, Utsman, Sayyidah Aisyah, saudari kandungnya Hafshah dan Abdullah bin Mas’ud. Yang meriwayatkan dari Ibnu Umar banyak sekali, diantaranya Sa’id bin al-Musayyab, al Hasan al Basri, Ibnu Syihab az-Zuhri, Ibnu Sirin, Nafi’, Mujahid, Thawus dan Ikrimah.

Ia wafat pada tahun 73 H. ada yang mengatakan bahwa Al-Hajjaj menyusupkan seorang kerumahnya yang lalu membunuhnya. Dikatakan mula mula diracun kemudian di tombak dan di rejam. Pendapat lain mengatakan bahwa ibnu Umar meninggal secara wajar.

Sanad paling shahih yang bersumber dari ibnu Umar adalah yang disebut Silsilah adz- Dzahab (silsilah emas), yaitu Malik, dari Nafi’, dari Abdullah bin Umar. Sedang yang paling Dlaif : Muhammad bin Abdullah bin al-Qasim dari bapaknya, dari kakeknya, dari ibnu Umar.

Disalin dari Biografi Ibnu Umar dalam Al-Ishabah no.4825 dan Tahdzib al-Asma’ 1/278, Thabaqat Ibn Sa’ad 4/105 Selengkapnya...

Kisah Sahabat: Informan Umat Islam-Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhu

Masjid Abdullah bin Abbas
Abdullah bin Abbas adalah sahabat kelima yang banyak meriwayatkan hadist sesudah Sayyidah Aisyah, ia meriwayatkan 1.660 hadits. Dia adalah putera Abbas bin Abdul Mutthalib bin Hasyim, paman Rasulullah dan ibunya adalah Ummul Fadl Lababah binti harits saudari ummul mukminin Maimunah.

Sahabat yang mempunyai kedudukan yang sangat terpandang ini dijuluki dengan Informan Umat Islam. Beliaulah asal silsilah khalifah Daulat Abbasiah. Dia dilahirkan di Mekah dan besar di saat munculnya Islam, di mana beliau terus mendampingi Rasulullah sehingga beliau mempunyai banyak riwayat hadis sahih dari Rasulullah . Beliau ikut di barisan Ali bin Abi Thalib dalam perang Jamal dan perang Shiffin. Beliau ini adalah pakar fikih, genetis Arab, peperangan dan sejarah. Di akhir hidupnya dia mengalami kebutaan, sehingga dia tinggal di Taif sampai akhir hayatnya.

Abdullah lahir tiga tahun sebelum hijrah dan Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam mendoakannya “Ya Allah berilah ia pengertian dalam bidang agama dan berilah ia pengetahuan takwil (tafsir)”.Allah mengabulkan doa Nabi-nya dan Ibnu Abbas belakangan terkenal dengan penguasaan ilmunya yang luas dan pengetahuan fikihnya yang mendalam , menjadikannya orang yang dicari untuk di mintai fatwa penting sesudah Abdullah bin Mas’ud, selama kurang lebih tiga puluh tahun. tentang Ibnu Abbas, Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah berkata :”Tak pernah aku melihat seseorang yang lebih mengerti dari pada Ibnu Abbas tentang ilmu hadits Nabi Shallallahu alaihi Wassalam serta keputusan2 yang dibuat Abubakar ,Umar , dan Utsman“.

Begitu pula tentang ilmu fikih ,tafsir ,bahasa arab , sya’ir , ilmu hitung dan fara’id. Orang suatu hari menyaksikan ia duduk membicarakan ilmu fiqih, satu hari untuk tafsir, satu hari lain untuk masalah peperangan, satu hari untuk syair dan memperbincangkan bahasa Arab. Sama sekali aku tidak pernah melihat ada orang alim duduk mendengarkan pembicaraan beliau begitu khusu’ nya kecuali kepada beliau. Dan setiap pertanyaan orang kepada beliau, pasti ada jawabannya”.

Menurut An-Nasa’I, sanad hadits Ibnu Abbas paling Shahih adalah yang diriwayatkan oleh az-Zuhri, dari Ubaidullah bin Abdullah bin ‘Utba, dari Ibnu abbas. Sedangkan yang paling Dlaif adalah yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Marwan as-Suddi Ash-Shaghir dan Al-Kalabi, dari Abi Shalih. Rangkaian ini disebut silsilah Al-Kadzib (silsilah bohong).

Ibnu Abbas mengikuti Perang Hunain, Thaif, Penaklukan Makkah dan haji wada’. Ia menyaksikan penaklukan Afrika bersama Ibnu Abu as-Sarah. Perang Jamal dan Perang Shiffin bersama Ali bin Abi Thalib.

Ia wafat di Thaif pada tahun 68 H. Ibnu al-Hanafiyah ikut menshalatkanya.

Disalin dari : Biografi Ibnu Abbas dalam Al-Ishabah no.4772 Selengkapnya...

Kisah Sahabat: Abu Hurairah Radhiyallahu anhu

Abu Hurairah adalah sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadist Nabi Shallallahu alaihi wassalam , ia meriwayatkan hadist sebanyak 5.374 hadist.

Abu Hurairah memeluk Islam pada tahun 7 H, tahun terjadinya perang Khibar, Rasulullah sendirilah yang memberi julukan “Abu Hurairah”, ketika beliau sedang melihatnya membawa seekor kucing kecil. Julukan dari Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam itu semata karena kecintaan beliau kepadanya.

Allah Subhanahu wa ta’ala mengabulkan doa Rasulullah agar Abu Hurairah dianugrahi hapalan yang kuat. Ia memang paling banyak hapalannya diantara para sahabat lainnya.

Pada masa Umar bin Khaththab menjadi Khalifah, Abu Hurairah menjadi pegawai di Bahrain, karena banyak meriwayatkan hadist Umar bin Khaththab pernah menetangnya dan ketika Abu Hurairah meriwayatkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wassalam :” Barangsiapa berdusta mengatasnamakanku dengan sengaja, hendaklah ia menyediakan pantatnya untuk dijilat api neraka”. Kalau begitu kata Umar, engkau boleh pergi dan menceritakan hadist.

Syu’bah bin al-Hajjaj memperhatikan bahwa Abu Hurairah meriwayatkan dari Ka’ab al-Akhbar dan meriwayatkan pula dari Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam, tetapi ia tidak membedakan antara dua riwayatnya tersebut. Syu’bah pun menuduhnya melakukan tadlis, tetapi Bisyr bin Sa’id menolak ucapan Syu’bah tentang Abu Hurairah. Dan dengan tegas berkata: Bertakwalah kepada allah dan berhati hati terhadap hadist. Demi Allah, aku telah melihat kita sering duduk di majelis Abu Hurairah. Ia menceritakan hadist Rasulullah dan menceritakan pula kepada kita riwayat dari Ka’ab al-Akhbar. Kemudian dia berdiri, lalu aku mendengan dari sebagian orang yang ada bersama kita mempertukarkan hadist Rasulullah dengan riwayat dari Ka’ab. Dan yang dari Ka’ab menjadi dari Rasulullah.”. Jadi tadlis itu tidak bersumber dari Abu Hurairah sendiri, melainkan dari orang yang meriwayatkan darinya.

Cukupkanlah kiranya kita mendengar kan dari Imam Syafi’I :” Abu Hurairah adalah orang yang paling hapal diantara periwayat hadist dimasanya”.

Marwan bin al-Hakam pernah mengundang Abu Hurairah untuk menulis riwayat darinya, lalu ia bertanya tentang apa yang ditulisnya, lalu Abu Hurairah menjawab :” Tidak lebih dan tidak kurang dan susunannya urut”.

Abu Hurairah meriwayatkan hadist dari /abu Bakar, Umar, Utsman, Ubai bin Ka’ab, Utsman bin Za’id, Aisyah dan sahabat lainnya. Sedangkan jumlah orang yang meriwayatkan darinya melebihi 800 orang, terdiri dari para sahabat dan tabi’in. diantara lain dari sahabat yang diriwayatkan adalah Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, Jabir bin Abdullah, dan Anas bin Malik, sedangkan dari kalangan tabi’in antara lain Sa’id bin al-Musayyab, Ibnu Sirin, Ikrimah, Atha’, Mujahid dan Asy-Sya’bi.

Sanad paling shahih yang berpangkal daripadanya adalah Ibnu Shihab az-Zuhr, dari Sa’id bin al-Musayyab, darinya (Abu Hurairah).

Adapun yang paling Dlaif adalah as-Sari bin Sulaiman, dari Dawud bin Yazid al-Audi dari bapaknya (Yazid al-Audi) dari Abu Hurairah.

Ia wafat pada tahun 57 H di Aqiq.

Disalin dari Biografi Abu Hurairah dalam Al-Ishabah Ibn Hajar Asqalani No. 1179, Tahdzib al ‘asma: An-Nawawi 2/270 Selengkapnya...

Kisah Sahabiyyah: Fatimah Azzahra binti Rasulullah Radhiyallahu anha


Pemimpin wanita pada masanya ini adalah pui ke 4 dari anak anak Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam, dan ibunya adalah Ummul Mukminin Khadijah binti Khuwalid. Sesungguhnya allah Subhanahu wa ta’ala menghendaki kelahiran Fathimah yang mendekati tahun ke 5 sebelum Muhammad diangkat menjadi Rasul, bertepatan dengan peristiwa besar yaitu ditunjuknya Rasulullah sebagai menengah ketika terjadi perselisiha antara suku Quraisy tentang siapa yang berhak meletakan kembali Hajar Aswad setelah Ka’abah diperbaharui. Dengan kecerdasan akalnya beliau mampu memecahkan persoalan yang hampir menjadikan peperangan diantara kabilah-kabilah yang ada di Makkah.

Kelahiran Fahimah disambut gembira oleh Rasulullahu alaihi wassalam dengan memberikan nama Fathimah dan julakannya Az-Zahra, sedangkan kunyahnya adalah Ummu Abiha (Ibu dari bapaknya).

Ia putri yang mirip dengan ayahnya, Ia tumbuh dewasa dan ketika menginjak usia 5 tahun terjadi peristiwa besar terhadap ayahnya yaitu turunnya wahyu dan tugas berat yang diemban oleh ayahnya. Dan ia juga menyaksikan kaum kafir melancarkan gangguan kepada ayahnya.sampai cobaan yang berat dengan meninggal ibunya Khadijah. Ia sangat pun sedih dengan kematian ibunya.

Pada saat kaum muslimin hijrah ke madinah, Fathima dan kakanya \ummu Kulsum tetap tinggal di Makkah sampai Nabi mengutus orang untuk menjemputnya.Setelah Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam menikah dengan Aisyah binti Abu Bakar, para sahabat berusaha meminag Fathimah. Abu Bakar dan Umar maju lebih dahulu untuk meminang tapi nabi menolak dengan lemah lembut.Lalau Ali bin Abi Thalib dating kepada Rasulullah untuk melamar, lalu ketika nabi bertanya, “Apakah engkau mempunyai sesuatu ?”, Tidak ada ya Rasulullah,” jawabku. “ Dimana pakaian perangmu yang hitam, yang saya berikan kepadamu,” Tanya beliau. “ Masih ada padaku wahai Rasulullah,” jawabku. “Berikan itu kepadanya (Fatihmah) sebagai mahar,”.kata beliau.

Lalu ali bergegas pulang dan membawa baju besinya, lalu Nabi menyuruh menjualnya dan baju besi itu dijual kepada Utsman bin Affat seharga 470 dirham, kemudian diberikan kepada Rasulullah dan diserahkan kepada Bilal untuk membeli perlengkapan pengantin.

Kaum muslim merasa gembira atas perkawinan Fathimah dan Ali bin Abi Thalib, setelah setahun menikah lalu dikaruniai anak bernama Al- Hasan dan saat Hasan genap berusia 1 tahun lahirlah Husein pada bulan Sya’ban tahun ke 4 H. pada tahun kelima H ia melahirkan anak perempuan bernama Zainab dan yang terakhir benama Ummu Kultsum.

Rasullah sangat menyayangi Fathimah, setelah Rasulullah bepergian ia lebih dulu menemui Fathimah sebelum menemui istri istrinya. Aisyah berkata ,” Aku tidak melihat seseorang yang perkataannya dan pembicaraannya yang menyerupai Rasulullah selain Fathimah, jika ia dating mengunjungi Rasulullah, Rasulullah berdiri lalu menciumnya dan menyambut dengan hangat, begitu juga sebaliknya yang diperbuat Fathimah bila Rasulullah dating mengunjunginya.”.

Rasulullah mengungkapkan rasa cintanya kepada putrinya takala diatas mimbar:” Sungguh Fathima bagian dariku , Siapa yang membuatnya marah bearti membuat aku marah”. Dan dalam riwayat lain disebutkan,” Fathimah bagian dariku, aku merasa terganggu bila ia diganggu dan aku merasa sakit jika ia disakiti.”.

Setelah Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam menjalankan haji wada’ dan ketika ia melihat Fathima, beliau menemuinya dengan ramah sambil berkata,” Selamat dating wahai putriku”. Lalu Beliau menyuruh duduk disamping kanannya dan membisikan sesuatu, sehingga Fathimah menangis dengan tangisan yang keras, tak kala Fathimah sedih lalu Beliau membisikan sesuatu kepadanya yang menyebabkan Fathimah tersenyum.

Takala Aisyah bertanya tentang apa yang dibisiknnya lalu Fathimah menjawab,” Saya tak ingin membuka rahasia”. Setelah Rasulullah wafat, Aisyah bertanya lagi kepada Fathimah tentang apa yang dibisikan Rasulullah kepadanya sehingga membuat Fathimah menangis dan tersenyum. Lalu Fathimah menjawab,” Adapun yang Beliau kepada saya pertama kali adalah beliau memberitahu bahwa sesungguhnya Jibril telah membacakan al-Qura’an dengan hapalan kepada beliau setiap tahun sekali, sekarang dia membacakannya setahun 2 kali, lalu Beliau berkata “Sungguh saya melihat ajalku telah dekat, maka bertakwalah dan bersabarlah, sebaik baiknya Salaf (pendahulu) untukmu adalah Aku.”. Maka akupun menangis yang engkau lihat saat kesedihanku. Dan saat Beliau membisikan yang kedua kali, Beliau berkata,” Wahai Fathimah apakah engkau tidak suka menjadi penghulu wanita wanita penghuni surga dan engkau adalah orang pertama dari keluargaku yang akan menyusulku”. Kemudian saya tertawa.

Takala 6 bulan sejak wafatnya Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam, Fathimah jatuh sakit, namaun ia merasa gembira karena kabar gembira yang diterima dari ayahnya. Tak lama kemudian iapun beralih ke sisi Tuhannya pada malam selasa tanggal 13 Ramadhan tahun 11 H dalam usia 27 tahun.

Disalin dari Buku Sirah Shahabiyah karya Mahmud mahdi al Istambuli & Musthafa Abu an Nashr asy Syalabi, Penerbit Maktabah Salafy Press, Tahum 2006.

Sumber: http://ahlulhadist.wordpress.com

Selengkapnya...

Mutiara Hikmah dari Lisan Abdullah bin Mas'ud -radhiyallahu'anhu-

Seorang Ulama dari Kalangan Sahabat adalah Beliau...Renungkanlah dan fahamilah apa yang beliau sampaikan...

Seorang laki-laki berkata di sisinya: “Aku tidak suka menjadi golongan kanan, Aku lebih suka menjadi golongan muqorrobin.” Maka Abdullah berkata: “Akan tetapi disini ada seorang laki-laki yang berharap mati tidak dibangkitkan.” (yakni dirinya sendiri).

Pada suatu hari beliau keluar lalu diikuti oleh beberapa orang, beliau berkata kepada mereka: “Apakah kalian punya keperluan?” Mereka menjawab: “Tidak, kami hanya ingin berjalan bersamamu.” Maka beliau berkata: “Kembalilah, karena ini merupakan kehinaan bagi yang mengikuti dan fitnah bagi yang diikuti.”

Beliau pernah berkata: “Kalaulah kalian tahu apa yang aku rasakan dalam hatiku niscaya kalian akan menaburkan tanah di atas kepalaku.”

Beliau berkata: “Barang siapa memberi kebaikan niscaya Allah akan memberinya kebaikan. Dan barang siapa menghindari keburukan niscaya Allah akan menjaganya dari keburukan.”

Beliau berkata: “Orang-orang bertakwa adalah para penghulu, ahli fiqh adalah pemimpin, dan bermajelis dengan mereka adalah peningkatan.”

Beliau juga berkata: “Alangkah indahnya perkara-perkara yang dibenci, yaitu kematian dan kefakiran. Demi Allah, Aku berharap mendapatkan cobaan dari kedua-duanya. Jika cobaan itu adalah kekayaan, maka untuk mengasah kasih sayang. Dan jika cobaan itu adalah kefakiran, maka untuk mengasah kesabaran.”

Beliau juga berkata: “Selama engkau berada dalam sholat maka sesungguhnya engkau sedang mengetuk pintu Sang Raja, dan siapa yang mengetuk pintu sang Raja niscaya akan dibukakan untuknya.”

Beliau berkata: “Berapa banyak syahwat yang menimbulkan kesedihan yang berkepanjangan.”

Beliau berkata: “Apabila telah nyata perbuatan zina dan riba di suatu negeri maka telah diumumkan kehancurannya.”

Beliau berkata: “Carilah hatimu di tiga tempat: Ketika mendengar Al-Qur’an, dalam majelis dzikir (kajian ilmu) dan diwaktu-wakru khalwat (menyendiri dengan Allah). Jika engkau tidak menemukannya di tiga tempat itu maka mintalah kepada Allah agar Dia memberimu hati karena sesungguhnya engkau sebenarnya belum punya hati”

Beliau berkata: “Tidak ada yang perlu lebih lama dipenjara selain lisan.”

Beliau juga berkata: “ilmu itu bukan dengan banyaknyanya riwayat akan tetapi ilmu adalah rasa takut kepada Allah.”

Beliau juga berkata: “Hendaknya seorang penghafal Al-Qur’an mengisi malamnya dengan dengan sholat ketika orang orang terlelap tidur, mengisi siangnya dengan berpuasa ketika orang-orang menyantap makanan, menghiasi diri dengan kesediahan ketiaka orang-orang hanyut dalam kegembiraan, dengan tangisnya ketika orang-orang gelak tertawa, dengan diamnya ketika orang-orang sibuk berbincang-bincang, kengan khusyu’nya ketika orang-orang sibuk berbangga-bangga. Seorang penghafal Al-Qur’an hendaknya menjadi orang yang mudah menangis, mudah bersedih, bijaksana, santun dan tenang. Dan seorang penghafal Al-Qur’an hendaklah tidak menjadi orang yang kasar, keras, lalai, banyak omong, suka berteriak, dan cepat tersinggung”

Beliau juga berkata: ”Setiap kegembiraan pasti diiringi kesedihan. Setiap rumah yang dipenuhi nikmat pasti dipenuhi dengan ibrah. Kalian semua adalah tamu, dan hartanya adalah pinjaman. Tamu pasti akan pergi dan barang pinjaman pasti akan dikembalikan kepada pemiliknya”

ditulis ulang oleh Abu al-Hasan semoga bermanfaat

Al-Fawaaid (Ibnul Qoyyim)

dikutip dari : [http://www.facebook.com/notes/aldy-sefan-rezanaldy/mutiara-hikmah-dari-perkataan-abdullah-bin-masud-rodhiyallahu-anhu-/469590335274]

Selengkapnya...

Inilah Sahabat Rasulullah, Ka'ab bin Malik radhiyallahu 'anhu dan Buah Kejujuran

Ka’ab bin Malik adalah salah seorang sahabat Nabi yang mendapat anugerah Allah berupa kepiawaian dalam bersyair dan berjidal. Syair-syairnya banyak bertemakan peperangan. Kemampuan sebagai penyair ini, mengantarkannya menduduki posisi khusus di sisi Nabi, selain dua sahabat yang lain, yaitu Hassan bin Tsabit dan Abdullah bin Rawahah. Ka’ab bin Malik termasuk pemuka sahabat dari kalangan Anshar yang berasal dari suku Khazraj. Nama lengkapnya ialah ‘Amr bin Al Qain bin Ka’ab bin Sawaad bin Ghanm bin Ka’ab bin Salamah. Pada masa jahiliyah, ia dikenal dengan kunyahnya (panggilan) Abu Basyir.

Kisah kejujuran Ka’ab bin Malik ini, berawal saat Rasulullah telah mengambil keputusan untuk menyerang Romawi. Beliau memobilisasi para sahabat untuk tujuan itu. Kaum rnuslimin segera melakukan persiapan dan berlomba-lomba menginfakkan harta yang mereka miliki.

Di tengah kesibukan kaum muslimin melakukan persiapan, ada seorang sahabat yang belum memulainya. la bernama Ka’ab bin Malik. Kali ini, Allah hendak mengujinya dengan perang Tabuk.

Pada masa tuanya, Ka’ab bin Malik menuturkan kisahnya kepada putranya : “Aku tidak pernah absen dalam satu peperangan pun bersama Rasulullah kecuali dalam perang Tabuk dan perang Badr. Tatkala Rasulullah berangkat bersama pasukan, aku masih terlambat dan belum sempat melakukan persiapan. Batinku berharap, aku bisa menyusul mereka. Namun akhirnya, langkahku benar- benar terhambat. Kesedihanku bertambah, ketika aku tahu bahwa orang-orang yang tidak bergabung dalam jihad itu hanya orang-orang yang tertuduh munafik atau kaum yang lemah fisiknya”.

Saat Rasulullah tiba di Tabuk, Beliau bertanya: “Apa yang terjadi dengan Ka’ab?”

Seorang laki-laki dari kaumku dengan kiasan menjawab,”Baju kesayangannya telah menahannya”. Namun Mu’adz menangkisnya,”Sungguh buruk perkataanmu. Demi Allah, kami tidak mengetahui tentang dirinya kecuali baik saja”. Rasulullah terdiam.

Ketika Rasulullah, kembali dari peperangan, orang-orang yang absen segera menemui Beliau, untuk menyampaikan alasan-alasan mereka. Jumlah mereka delapan puluh orang lebih. Rasulullah pun menerima alasan-alasan mereka dan memohonkan ampun bagi mereka.

Sempat terbesit dalam benakku untuk mengajukan alasan dusta kepada Beliau, agar aku selamat dari kemarahan Beliau. Namun kuurungkan niatku dan kubulatkan tekad untuk berkata jujur kepada Beliau. Aku mengucapkan salam kepada Beliau, Beliau tersenyum kecut kepadaku.

Beliau berkata,”Kemarilah!”

Aku pun mendekat dan duduk di hadapan Beliau.

Beliau bertanya kepadaku,”Apa yang menahanmu? Bukankah engkau telah mempertaruhkan punggungmu?”

Aku menjawab,”Benar, wahai Rasulullah. Demi Allah, seandainya saat ini aku duduk di hadapan orang selain engkau, tentu aku sampaikan segala argumentasi yang dapat menyelamatkanku dari kemarahan, lantaran aku ahli berjidal (pandai bicara). Namun aku sungguh mengetahui, seandainya hari ini aku berdusta supaya engkau memaklumiku, niscaya Allah yang akan memberitahukan kepada engkau. Aku mengatakan alasan yang sebenarnya dengan jujur kepadamu. Dan sungguh, aku berharap ampunan Allah dengan kejujuranku. Demi Allah, aku sama sekali tidak memiliki alasan saat aku berdiam di rumah dan tidak ikut serta perang bersamamu.”

Beliau berkata,”Laki-laki ini telah berkata jujur. Berdirilah sampai Allah memutuskan perkaramu,” aku pun berdiri dan meninggalkan Beliau.

Sekelompok laki-laki dari Bani Salimah mengejarku seraya berkata,”Demi Allah, kami tidak mengetahui engkau melakukan dosa sebelum ini. Mengapa engkau tidak beralasan seperti yang dilakukan orang-orang itu? Sungguh, permohonan ampun Rasulullah untukmu akan menghapus dosamu.”

Mereka terus membujukku hingga aku berpikir untuk kembali kepada Rasulullah dan berdusta kepada Beliau. Aku bertanya kepada mereka,”Adakah orang yang mengalami hal yang sama sepertiku?”

Mereka menjawab,”Ada! Dua orang laki-laki yang mengatakan alasan seperti alasanmu. Dan Rasulullah mengatakan perkataan yang sama kepada mereka, seperti yang Beliau katakan kepadamu.”

Aku bertanya,”Siapa mereka?”

Mereka menjawab,”Murarah bin Ar Rabi’ Al ‘Amri dan Hilal bin Umayyah Al Waqifi.”

Mereka adalah dua orang sahabat yang ikut dalam perang Badr dan pada diri mereka terdapat suri tauladan. Aku pun berlalu meninggalkan mereka.

Sejak saat itu, Rasulullah melarang para sahabat berbicara dengan kami, tiga orang yang tidak ikut dalam perang Tabuk. Dua sahabatku, mereka tak tahan menghadapi hajr (isolasi) yang dilakukan kaum muslimin terhadap kami. Mereka mengurung diri dalam rumah dan tak pernah berhenti menangis. Sedangkan aku adalah orang yang termuda dan terkuat di antara mereka. Kukuatkan hatiku untuk menemui orang-orang, berharap akan ada seseorang yang menyapaku. Namun tak ada seorang pun yang mau berbicara denganku.

Ketika aku memasuki masjid, kuucapkan salam kepada Rasulullah. “Apakah Beliau akan menggerakkan bibirnya untuk menjawab salamku?” tanya hatiku.

Aku pun shalat dan mengambil posisi terdekat dengan Beliau. Aku mencuri-curi pandang kepada Beliau. Ketika aku fokuskan pandangan pada shalatku, Beliau memandangku. Dan bila aku meliriknya, Beliau memalingkan wajahnya dariku.

Keadaan itu terus berlanjut hingga beban itu kian berat kurasakan. Aku pun menemui Abu Qatadah, sepupuku dan orang yang sangat kucintai. Aku memanjat dinding rumahnya dan kuucapkan salam padanya. Namun dia tidak menjawab salamku. Aku berkata memelas padanya, “Wahai, Abu Qatadah! Demi Allah, bukankah engkau mengetahui bahwa aku mencintai Allah dan RasulNya?”

la hanya terdiam dan tidak menanggapi perkataanku. Kuulangi kata-kataku tadi berkali-kali, hingga ia berujar singkat: “Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui”. Air mataku pun meleleh tanpa bisa kutahan. Aku berlalu.

Suatu ketika, saat aku berjalan di pasar kota Madinah, seorang laki-laki dari Syam yang menjual makanan di pasar itu bertanya kepada orang- orang: “Siapakah yang mau menunjukkan Ka’ab bin Malik kepadaku?”

Orang-orang pun memberitahukannya. Dia pun mendatangiku. Kemudian menyerahkan sehelai surat dari Raja Ghassan. Tertulis dalam surat itu:

“Telah sampai berita kepadaku, bahwa temanmu telah menyia-nyiakanmu. Sedangkan Allah tidak menjadikanmu orang yang terhina dan tersia-siakan. Bergabunglah dengan kami, maka kami akan rnenolongmu”.

Aku berkomentar,”lni pun cobaan untukku,” lalu aku lempar surat itu ke dalam tungku api.

Setelah berlalu empat puluh hari semenjak Rasulullah dan para sahabat mengisolasi kami, tiba-tiba datang utusan Beliau dengan membawa perintah agar aku menjauhi istriku. Aku bertanya, “Apakah aku harus menceraikannya atau apa yang harus kulakukan?”

Sang utusan menjawab,’Tidak, tapi jauhilah ia dan jangan engkau sentuh.”

Aku berkata kepada istriku, “Kembalilah kepada keluargamu. Tinggallah bersama mereka sampai Allah memutuskan perkara ini.”

Keadaan seperti itu terus berlanjut. Hingga tibalah suatu pagi selepas aku shalat shubuh. Kondisiku saat itu seperti yang ijak seakan tak kukenali lagi.

Tiba-tiba aku mendengar seseorang berteriak: “Wahai, Ka’ab bin Malik! Berbahagialah!” Aku pun segera menghaturkan syukur dengan sujud kehadiratNya. Sungguh telah datang jalan keluar bagi kami. Rasulullah telah mengumumkan kepada para sahabat setelah shalat Shubuh. Allah telah menerima taubat kami.

Orang-orang berbondong-bondong menemui kami dan mengekspresikan kegembiraan mereka atas berita ini. Sungguh tak terlukiskan kebahagiaanku saat itu. Aku memberikan dua baju yang kukenakan kepada laki-laki yang datang membawa kabar gembira itu. Padahal saat itu, aku tidak memiliki baju selain kedua baju itu. Oleh karena itu, aku meminjam baju dan bergegas ke masjid menemui Rasulullah.

Saat itu Beliau dikelilingi para sahabat. Tiba-tiba Thalhah bin Ubaidillah berdiri dan berlari kecil menghampiriku, kemudian ia menggamit tanganku dan menyalamiku seraya mengucapkan selamat untukku. Sungguh, tidak ada seorang pun yang berdiri dan melakukan seperti yang ia lakukan, hingga aku pun tidak pernah melupakan kebaikannya itu.

Aku pun masuk masjid dan mengucapkan salam kepada Rasulullah. Saat itu wajah Beliau berseri-seri dan bersinar bak rembulan. Tatkala aku sudah duduk di depan Nabi, Beliau berkata: “Berbahagialah dengan hari terbaik yang engkau jumpai semenjak ibumu melahirkanmu”.

“Apakah pengampunan ini darimu, wahai Rasulullah? ataukah dari Allah?” tanyaku.

Beliau menjawab, “Tidak! Pengampunan ini datang langsung dari sisi Allah.”

Aku berkata kepada Beliau:

“Wahai, Rasulullah! Sungguh, sebagai cerminan nyata taubatku, aku sedekahkan hartaku di jalan Allah”.

Beliau berkata, “Tahanlah sebagian hartamu untuk dirimu, karena itu lebih baik bagimu.”

Aku mentaati perintah Beliau dan berkata: “Kalau begitu, aku tahan anak panahku yang kugunakan dalam perang Khaibar. Dan sungguh Allah telah menyelamatkanku dari perkara pelik ini karena kejujuran. Maka sebagai wujud taubatku pula, aku tidak akan berbicara kecuali dengan jujur”. Sungguh, aku tidak mengetahui ada orang lain yang mendapat ujian kejujuran seperti Allah mengujiku. Hingga sampai saat ini, aku tidak pernah bicara dusta satu kali pun sejak berjanji kepada Rasulullah. Dan aku morion kepada Allah agar menjagaku pada sisa umurku ini”.

Demikianlah sosok Ka’ab bin Malik. Seorang mujahid di jalan Allah dengan pedang dan lisannya. Sosok patriot yang memiliki kejujuran setegar batu karang. Tak terkikis oleh ujian yang menyempitkan hatinya. Dijalaninya sisa hidupnya dengan selalu menggenggam kejujuran. Pada masa tuanya, ia kehilangan penglihatannya. Dan putranya, Abdullah yang menjadi pemandu sejak Allah menghilangkan penglihatannya. Ka’ab bin Malik wafat pada masa pemerintahan Mu’awiyyah bin Abi Sufyan. Semoga rahmat dan keridhaan Allah senantiasa tercurah atas diri penyair Rasulullah ini.

Maraji:

  • Adz Dzahabi, Siyar A’lamin Nubala’, Muassasah Ar Risalah, Cet XI, Th. 1422 H – 2001M
  • Tafsir Ibni Katsir, Dar At Thayyibah, cet I, tahun 1422 H/2002M
  • Shafiyyur Rahman At Mubarak Furi, Ar Rahiqul Makhtum, cet I , tahun 1417 H/ 1997M
  • Shahih Bukhari

(diambil dari http://blog.vbaitullah.or.id/2006/06/04/727-kaab-bin-malik-dan-manisnya-sebuah-kejujuran/ )

Selengkapnya...